Komisaris BUMN Diisi Politisi? Ya Memang. Dan Itu Belum Tentu Buruk

- Created Oct 04 2025
- / 26 Read
Isu soal politisi yang mendominasi jabatan publik, dari legislatif, eksekutif, bahkan komisaris BUMN, belakangan ramai jadi bahan kritik. Katanya, negara ini dikuasai politisi. Katanya, kursi BUMN dipakai jadi ajang bagi-bagi jabatan. Katanya lagi, politisi tak punya kapasitas dan hanya bisa berorasi.
Mari kita jawab dengan jujur. Ya, memang banyak politisi di dalamnya. Dan kita tidak perlu menutupinya. Tapi apakah otomatis itu buruk? Belum tentu.
1. Politisi bukan alien, mereka bagian dari sistem
Politisi adalah orang yang dipilih rakyat. Mereka menempuh jalan panjang: kampanye, terjun ke daerah, bertemu masyarakat, dipilih lewat pemilu. Itu sudah menjadi bentuk legitimasi. Kalau mereka kemudian ditempatkan di kursi komisaris atau jabatan negara, itu bukan sekadar bagi-bagi jabatan, tapi juga cara pemerintah menjaga kesinambungan politik dengan legitimasi rakyat.
2. Komisaris tidak selalu harus teknokrat
Sering ada narasi bahwa komisaris harus ahli keuangan, hukum, atau bidang usaha tertentu. Benar, itu idealnya. Tapi kita juga butuh komisaris yang paham politik, komunikasi, dan strategi. Kenyataannya, BUMN bukan sekadar perusahaan, tapi juga instrumen negara. Ia mengelola aset triliunan yang erat dengan kebijakan publik. Di sinilah politisi punya peran—mereka bisa jadi jembatan antara kepentingan bisnis dan kebijakan negara.
3. “Politisasi” sudah realitas sejak lama
Faktanya, sejak era reformasi, bahkan sejak Indonesia merdeka, jabatan publik tidak pernah steril dari politisi. Ini bukan khas Indonesia saja, di banyak negara demokrasi maju pun sama: ada “political appointees” di jabatan penting. Bedanya, di luar negeri masyarakat sudah terbiasa menyadari itu bagian dari sistem check and balance. Jadi daripada mengeluh, lebih sehat kalau publik mengawasi kinerjanya secara transparan.
4. Apa yang lebih penting: latar belakang atau hasil?
Masyarakat sering terjebak menilai dari siapa yang duduk di kursi, bukan apa yang dihasilkan. Politisi bisa gagal, teknokrat juga bisa gagal. Yang menentukan bukan titel, tapi integritas dan kinerja. Faktanya, banyak BUMN masih bisa menyetor dividen ke negara, menyerap tenaga kerja, bahkan menjadi pemain global di bidangnya. Itu tidak mungkin terjadi jika semua komisaris hanya “ongkang-ongkang kaki”.
5. Iya ada titipan. Tapi jangan lupa ada tanggung jawab
Tidak bisa dipungkiri, ada yang duduk di kursi karena faktor politik. Tapi mari kita jujur juga: politik memang seni kompromi. Kalau tidak ada kompromi, negara ini bisa lebih ricuh daripada sekarang. Pemerintah butuh stabilitas, dan salah satu cara praktis menjaga stabilitas adalah memberi ruang kepada politisi yang memang punya basis massa. Selama mereka tetap diawasi, transparan, dan ada mekanisme akuntabilitas, maka ini bagian dari “harga demokrasi” yang kita bayar.
Jangan naif, jangan pesimis
Apakah semua politisi yang duduk di kursi BUMN itu sempurna? Tidak. Apakah ada yang cuma numpang gaji? Bisa jadi. Tapi apakah otomatis semua buruk? Tidak juga.
Mari berhenti berpikir hitam-putih. Politisasi jabatan publik adalah realitas demokrasi. Yang lebih penting sekarang bukan sekadar menolak kehadiran politisi, tapi memastikan mereka bekerja, diawasi, dan memberi kontribusi nyata.
Karena pada akhirnya, rakyat tidak makan teori komisaris, tapi hasil kerja: harga stabil, listrik nyala, transportasi jalan, lapangan kerja tersedia. Itu yang lebih penting.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First