PBB Naik? Coba Cek Lagi, Mungkin Bukan Pajaknya yang Bertambah

- Created Aug 15 2025
- / 1709 Read
Belakangan ini media sosial diramaikan oleh keluhan warga yang mengaku tagihan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) tahun ini melonjak dibanding tahun lalu. Unggahan foto lembar tagihan dengan angka yang jauh lebih besar bertebaran di berbagai platform, memicu reaksi berantai: mulai dari rasa heran, protes, hingga tuduhan bahwa pemerintah secara diam-diam menaikkan tarif pajak. Wajar saja banyak yang beranggapan demikian, karena dari kacamata masyarakat awam, angka yang lebih besar otomatis dianggap sebagai “kenaikan pajak”.
Namun, jika kita telusuri lebih dalam, akar persoalannya tidak sesederhana itu. Tarif PBB-P2 sendiri sebenarnya tidak mengalami perubahan. Yang naik bukanlah tarif pajak, melainkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai dasar perhitungan PBB yang kini telah disesuaikan dengan harga pasar terkini berdasarkan survei dan data resmi.
Penyesuaian NJOP ini tidak dilakukan sembarangan. Pemerintah daerah secara berkala melakukan survei lapangan, memantau harga jual tanah dan bangunan di pasaran, lalu membandingkannya dengan NJOP yang berlaku. Hasilnya, sering kali ditemukan perbedaan signifikan: ada tanah yang nilai jualnya sudah berlipat ganda dalam 5 hingga 10 tahun terakhir, tetapi NJOP-nya masih “tertinggal” jauh di bawah harga pasar. Kondisi seperti ini menyebabkan ketidakadilan fiskal, pemilik aset bernilai tinggi membayar pajak relatif lebih kecil dibanding nilai asetnya yang sesungguhnya.
Mari ambil contoh sederhana. Misalkan 10 tahun lalu harga sebidang tanah adalah Rp. 500 ribu per meter, dan NJOP pun mengikuti angka itu. Seiring perkembangan wilayah, dibangunnya jalan, fasilitas umum, hingga pusat perbelanjaan, harga tanah di area tersebut bisa melonjak menjadi Rp3 juta per meter. Jika NJOP tetap dibiarkan rendah, pajak yang dibayar tidak akan sebanding dengan nilai ekonominya sekarang. Inilah alasan mengapa NJOP perlu disesuaikan secara periodik, demi mencerminkan realitas pasar.
Sayangnya, ketika NJOP naik, jumlah PBB yang harus dibayar otomatis ikut naik, meskipun tarif pajak tidak berubah. Di sinilah sering muncul kesalahpahaman publik: angka tagihan meningkat, maka dianggap tarif pajaknya dinaikkan. Padahal, secara aturan, tarif PBB-P2 tetap sama, hanya nilai dasar perhitungannya yang diperbarui.
Penting untuk diingat bahwa PBB-P2 merupakan salah satu sumber utama pembiayaan daerah. Dana yang terkumpul digunakan untuk membangun dan memelihara infrastruktur, memperbaiki fasilitas umum, mendukung pendidikan, kesehatan, hingga menjaga ruang terbuka hijau. Artinya, ketika kita membayar PBB sesuai NJOP terbaru, kita sesungguhnya sedang ikut berkontribusi pada peningkatan kualitas lingkungan dan layanan publik di daerah kita sendiri.
Tentu, kenaikan NJOP tidak boleh dilakukan secara asal. Prosesnya harus transparan, datanya valid, dan pemerintah daerah wajib memberikan sosialisasi yang jelas kepada masyarakat. Komunikasi yang buruk akan membuat kebijakan yang sebenarnya bertujuan menciptakan keadilan justru menuai resistensi. Sosialisasi yang baik akan membuat warga memahami bahwa pajak bukan sekadar kewajiban, tapi juga investasi bersama.
Maka dari itu, sebelum kita ikut menyebarkan kabar bahwa “PBB naik” atau bahkan memandangnya sebagai beban semata, ada baiknya kita meninjau ulang faktanya. Kenaikan NJOP adalah konsekuensi logis dari perkembangan wilayah dan kenaikan harga pasar properti. Ini bukan sekadar urusan tagihan tahunan, tetapi bagian dari mekanisme yang menjaga keadilan fiskal dan keberlanjutan pembangunan daerah.
Kalau angka tagihan tahun ini bikin kaget, tanyakan dulu pada diri kita: apakah tarif pajaknya benar-benar berubah, atau hanya NJOP yang akhirnya menyusul nilai pasar sesungguhnya?
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First