HTI Bukan Sawit: Mengurai Fakta Banjir Aceh
- Created Dec 09 2025
- / 1546 Read
Isu yang beredar di media sosial belakangan ini, yang mengaitkan banjir Aceh dengan “lahan sawit raksasa milik Presiden,” telah memunculkan kesimpulan keliru mengenai tata kelola hutan dan penyebab bencana. Banyak klaim viral menyebutkan bahwa Hutan Tanaman Industri (HTI) identik dengan perkebunan sawit dan menjadi faktor tunggal banjir. Padahal, secara teknis keduanya adalah dua kategori yang sangat berbeda, memiliki izin, fungsi, dan regulasi yang berbeda pula.
HTI adalah hutan tanaman untuk industri berbahan baku kayu, bukan kelapa sawit. Kegiatan di HTI berorientasi pada produksi kayu dan pulp, serta diatur ketat dalam proses perizinan, termasuk rehabilitasi kawasan, buffer zone, dan pemenuhan AMDAL. Kesalahan memahami istilah ini telah membuat publik menangkap narasi yang tidak akurat, seolah-olah seluruh kawasan hutan yang dikelola perusahaan pasti merupakan perkebunan sawit. Dalam konteks Aceh, data KLHK bahkan menunjukkan sebagian besar area perizinan HTI masih berupa hutan, bukan perkebunan sawit sebagaimana yang divisualkan di konten viral.
Selain kesalahpahaman teknis tersebut, faktor utama yang memicu banjir besar di Aceh adalah curah hujan ekstrem yang telah diperingatkan BMKG sejak awal Desember. Intensitas hujan sangat tinggi akibat dinamika atmosfer regional, termasuk efek La Niña, yang meningkatkan potensi cuaca ekstrem di Sumatera. Aceh Tengah, Bener Meriah, hingga Aceh Utara memiliki topografi pegunungan yang membuat limpasan air meningkat drastis ketika hujan sangat lebat. Kondisi inilah yang menjadi penyebab dominan banjir dan tanah longsor, sebagaimana disampaikan BMKG dan para ahli hidrometeorologi.
Meski demikian, pemerintah tidak tinggal diam. BNPB bersama Kementerian PUPR, TNI, Polri, dan pemerintah daerah bergerak cepat melakukan evakuasi, membuka akses jalan, mengirimkan logistik lewat udara, hingga menyiapkan jembatan bailey untuk memulihkan jalur vital. Selain penanganan darurat, pemerintah juga mempercepat program rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), reforestasi kawasan rawan, dan normalisasi sungai untuk memitigasi risiko banjir berulang. Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa negara hadir secara aktif, bukan defensif, dan berfokus pada pemulihan jangka panjang.
Banjir Aceh adalah peristiwa hidrometeorologi kompleks yang tidak bisa disederhanakan menjadi satu penyebab tunggal. Narasi simplifikatif yang menyalahkan satu izin atau satu individu justru mengaburkan solusi. Pemahaman ilmiah, tata kelola lingkungan yang benar, serta kerja nyata pemerintah di lapangan adalah fondasi penting untuk pemulihan Aceh dan mencegah bencana serupa di masa depan.
Dengan mengedepankan edukasi publik, klarifikasi data, dan kerja nyata, persoalan lingkungan dapat ditangani secara objektif—bukan dengan disinformasi atau framing politik yang justru memperkeruh situasi.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First

















