Demo Besar 1 September: Antara Idealisme Mahasiswa dan Realita yang Tak Mau Disentuh

- Created Sep 01 2025
- / 942 Read
Banda Aceh – Menjelang aksi demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPRA pada 1 September 2025, publik kembali disuguhi pemandangan klasik: posko donasi, spanduk berapi-api, dan jargon “rakyat bantu rakyat.”
Mari kita jujur—mahasiswa memang sering jadi garda depan perubahan. Tapi, apakah aksi ini benar-benar murni untuk rakyat, atau sekadar ritual tahunan penuh simbol yang berakhir dengan jalan macet, spanduk kusut, dan aspirasi yang tak jelas arahnya?
Pemerintah Aceh, sekeras apa pun kritik yang dilontarkan, toh tetap bekerja dalam jalur yang nyata: menyalurkan bantuan, mengurus anggaran, membangun infrastruktur, dan memastikan roda birokrasi tetap berputar. Sementara sebagian mahasiswa sibuk menggalang donasi untuk aksi sehari, pemerintah justru mengelola triliunan rupiah APBA demi keberlangsungan hidup jutaan orang.
Faktanya
- Donasi aksi? Pemerintah tiap tahun sudah “donasi” lewat subsidi, beasiswa, hingga program bantuan sosial. Bedanya, uang pemerintah jelas sumbernya dan jelas pertanggungjawabannya.
- Posko rakyat bantu rakyat? Realitanya, rakyat setiap hari terbantu lewat layanan publik yang dibiayai APBN/APBA. Mulai dari listrik, kesehatan, pendidikan, sampai subsidi BBM.
- Demo besar? Hasil akhirnya sering lebih bising daripada efektif. Aspirasi disampaikan, headline media muncul, tapi rakyat tetap menunggu solusi nyata—dan itu, suka atau tidak, datang dari pemerintah.
Saatnya Mahasiswa Lebih Visioner
Kalau benar peduli rakyat, mestinya energi mahasiswa tidak hanya dihabiskan untuk mempersiapkan orasi dan spanduk, tapi juga ikut merumuskan solusi konkret: usulan kebijakan, riset berbasis data, atau program kolaboratif bersama pemerintah.
Demo boleh, sah, bahkan dijamin konstitusi. Tapi mari akui dengan jujur: perubahan tidak lahir dari satu hari teriak-teriak di jalan, melainkan dari proses panjang, kerja nyata, dan keberanian menghadapi realita yang kompleks.
Hari ini mungkin ribuan orang turun ke jalan. Heboh, penuh semangat, penuh sorakan. Tapi setelah itu? Pemerintah tetap harus bekerja menyelesaikan PR besar Aceh: kemiskinan, lapangan kerja, kesehatan, dan pendidikan.
Dan di titik ini, suka atau tidak, pemerintah jauh lebih relevan daripada spanduk bertuliskan cat semprot merah.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First