Thursday 23-10-2025

Heboh Kritik 1 Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Tapi Siapa Sebenarnya yang Tak Realistis?

  • Created Oct 12 2025
  • / 398 Read

Heboh Kritik 1 Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran: Tapi Siapa Sebenarnya yang Tak Realistis?

Setahun pemerintahan berjalan, jagat media kembali diramaikan oleh dua nada besar: “Kabinet terlalu gemuk” dan “Krisis empati & moral leadership”. Keduanya dilempar oleh media arus utama—dari Kompas yang menyoroti efektivitas kabinet, hingga Bali Express yang menyorot tumpulnya demokrasi dan korupsi yang “menggurita”.

Masalahnya, di tengah banjir opini seperti itu, berapa banyak kritik yang benar-benar berdiri di atas data, bukan nostalgia masa lalu atau ekspektasi kosong?

1. Kabinet Gemuk? Realitanya Negara Juga Semakin Kompleks
Perombakan kabinet keempat dianggap “membuat kabinet kian gemuk”. Tapi mari jujur: Negara ini tidak lagi sesederhana era 2000-an. Tantangan digitalisasi, pangan, kesehatan, geopolitik, hingga perubahan iklim butuh koordinasi lintas sektor yang cepat.

Menambah wakil menteri atau badan baru bukan soal bagi-bagi kursi — itu adaptasi struktur birokrasi terhadap realitas baru. Ironisnya, banyak yang berteriak “efisiensi”, tapi ketika birokrasi lamban atau kebijakan tumpang tindih, mereka juga yang pertama menuduh “pemerintah tak sigap”.

Mau cepat tapi kurangi tangan? Itu seperti mau naik gunung tanpa peralatan tapi ingin sampai duluan.

2. Soal “Krisis Empati”: Kritik yang Nyaman dari Kursi Dingin
Tuduhan bahwa pemerintah kehilangan empati atau moral leadership selalu laku dijual. Tapi seberapa adil menilai empati dari potongan berita?

Kebijakan sosial, BLT, bantuan pangan, subsidi kesehatan, hingga relokasi korban bencana — itu semua bentuk empati institusional, bukan sekadar kata-kata manis di mikrofon seminar.

Empati tak selalu ditunjukkan lewat tangisan di kamera, tapi lewat kebijakan yang bekerja diam-diam di lapangan.

3. Demokrasi “Tumpul”? Atau Ekspektasi Kita yang Terlalu Tajam?
Kritik bahwa demokrasi melemah karena pemerintah kuat adalah logika yang usang. Demokrasi bukan berarti setiap keputusan harus menunggu persetujuan semua pihak. Kita memilih sistem presidensial, bukan “rapat umum tanpa akhir”.

Kekuatan pemerintah yang solid bukan ancaman, justru modal stabilitas — sesuatu yang jarang dimiliki negara berkembang dengan 270 juta jiwa dan ribuan kepentingan yang saling tarik-menarik.

4. Korupsi Menggurita? Betul. Tapi Sekarang Semua Terang-Terangan
Apakah korupsi hilang? Tentu tidak. Tapi beda antara zaman menutup mata dan zaman membuka borok sendiri. Kini publik bisa mengakses laporan, rekam jejak, dan audit lembaga negara dengan mudah. Itu bukan tanda memburuk — itu tanda sistem makin transparan.

Yang membingungkan, ketika pemerintah berani menindak pejabat sendiri, narasinya tetap sama: “korupsi makin parah”. Padahal bisa jadi, yang makin parah justru kemampuan kita membedakan progres dan pesimisme.

5. Kritik Sah, Tapi Jangan Malas Pahami Konteks
Media boleh menyoroti. Publik boleh kecewa. Tapi jangan seolah kritik otomatis berarti benar. Kita hidup di era di mana opini lebih cepat dari data, dan headline lebih kuat dari akal sehat.

Pemerintahan yang sedang berusaha menata ulang sistem besar tak bisa dinilai dengan rumus “puas atau tidak puas” ala survei restoran cepat saji.

Mereka bilang pemerintah makin gemuk, padahal tantangannya juga makin berat. Mereka bilang moral menurun, padahal yang sebenarnya menurun adalah kesabaran publik untuk memahami proses.

Dan mereka bilang demokrasi tumpul, padahal yang tumpul kadang bukan demokrasi — tapi kemampuan kita melihat kompleksitas dengan jernih.

Tags :

Share News


For Add Product Review,You Need To Login First