Smart TV Rp26 Juta di Sekolah: Boros atau Investasi Otak Anak Bangsa?

- Created Sep 14 2025
- / 37 Read
Banyak yang langsung panas dingin begitu mendengar Presiden Prabowo membagikan 330 ribu smart TV ke sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Angkanya bikin kaget: Rp26 juta per unit, total hampir Rp10 triliun.
Komentar sinis langsung bermunculan: “Mubazir!”, “Lebih baik buat gaji guru!”, “Ah cuma jadi pajangan!”.
Reaksi itu wajar. Kita semua sudah kenyang melihat proyek pemerintah yang kedengarannya keren, ujung-ujungnya macet, diselewengkan, atau cuma jadi alat foto seremoni.
Tapi… mari kita tarik nafas, berhenti sejenak, dan pikir lebih dalam.
1. Rp10 Triliun Itu Banyak, Tapi Pendidikan Lebih Mahal
Kalau dibandingkan dengan kebutuhan APBN Rp3.000 triliun, Rp10 triliun itu hanya 0,3%. Angka besar? Ya. Tapi kalau bicara soal meningkatkan mutu 60 juta pelajar Indonesia, ini investasi yang nilainya sepadan.
Daripada habis buat subsidi hal-hal konsumtif yang lenyap begitu saja, lebih baik diarahkan ke sesuatu yang bisa dipakai bertahun-tahun. Smart TV bukan hanya layar, tapi jendela dunia digital yang bisa membuka akses ke materi ajar modern, video interaktif, dan platform Merdeka Mengajar.
2. Kritik soal Guru & Kurikulum? Valid. Tapi Ini Bukan “Either-Or”
Benar, guru yang digaji rendah adalah masalah. Kurikulum yang gonta-ganti juga masalah.
Tapi logika bahwa “karena guru susah, jadi jangan beli teknologi” itu sama dengan bilang:
“Karena atap rumah bocor, jangan beli buku buat anak.”
Keduanya perlu. Guru tetap ditingkatkan kapasitas & kesejahteraannya, kurikulum tetap direvisi, dan sarana belajar tetap ditambah. Kalau kita selalu menunggu semua masalah selesai dulu baru bergerak, pendidikan Indonesia tidak akan pernah maju.
3. “Sekolah Reyot, Buat Apa Smart TV?”
Sekolah reyot memang ada, tapi tidak semua. Ada ribuan sekolah yang infrastrukturnya siap dan langsung bisa memanfaatkan perangkat ini.
Kalau hanya karena ada sekolah rusak lalu seluruh program dihentikan, itu namanya menyandera kemajuan dengan alasan ketidakmerataan.
Bukankah justru lebih baik sebagian sekolah sudah maju dulu, jadi contoh, daripada semua tetap jalan di tempat?
4. Potensi Korupsi? Selalu Ada. Solusinya: Transparansi, Bukan Stop Program
Mari realistis: korupsi di proyek pemerintah selalu jadi potensi. Tapi apakah solusinya menghentikan semua proyek pembangunan? Tentu tidak. Solusinya adalah audit ketat, transparansi harga, distribusi, dan evaluasi berkala.
Kalau takut korupsi lalu semua ditolak, maka Indonesia tidak akan pernah punya infrastruktur, jalan tol, bendungan, atau bahkan sekolah itu sendiri.
5. Clickbait yang Hilang: Rp26 Juta = Murah untuk 5–10 Tahun
Banyak yang cuma baca angka Rp26 juta per unit dan langsung panas. Padahal kalau dipecah, umur pakai smart TV itu bisa 5–10 tahun.
Artinya: Rp2,6 juta per tahun per sekolah. Bandingkan dengan biaya konsumsi harian masyarakat yang bisa lebih dari itu hanya untuk nongkrong di kafe.
Ya, proyek ini memang berisiko. Ya, ada potensi masalah. Tapi kalau setiap langkah maju selalu dianggap proyek gagal sebelum dicoba, kapan pendidikan Indonesia bisa benar-benar melompat ke era digital?
Lebih baik punya smart TV yang mungkin awalnya “cuma pajangan”, daripada tidak punya apa-apa dan murid kita tetap ketinggalan dunia.
Jadi, apakah ini “pemborosan Rp10 triliun”? Atau justru “investasi besar-besaran untuk otak anak bangsa”?
Jawabannya ada di cara kita mengawasi, bukan di menolaknya mentah-mentah.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First