Biar Korupsi Tak Lagi Menguntungkan

- Created Oct 14 2025
- / 3036 Read
Langkah pemerintah untuk mendorong pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset layak mendapat apresiasi luas. Selama ini, salah satu kelemahan dalam sistem penegakan hukum kita adalah lemahnya kemampuan negara dalam memulihkan aset hasil tindak pidana, terutama korupsi. Banyak kasus besar yang sudah diputus pengadilan, pelakunya sudah dihukum, namun harta hasil korupsi sulit dikembalikan ke kas negara. UU Perampasan Aset diharapkan menjadi terobosan hukum yang menutup celah tersebut, dengan memberi kewenangan bagi negara untuk menargetkan aset yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya secara sah, bahkan sebelum pelaku dijatuhi vonis pidana. Pendekatan ini dikenal dengan prinsip non-conviction based asset forfeiture, dan telah diterapkan di banyak negara untuk mempercepat pemulihan aset publik.
Urgensi regulasi ini juga bisa dibuktikan lewat data. Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), total kerugian negara akibat korupsi selama 2019–2023 mencapai sekitar Rp. 336,53 T, sementara aset yang berhasil dipulihkan baru sekitar Rp. 2,5 T. Artinya, masih ada jurang besar antara potensi pemulihan dan realisasi. Dalam kasus besar seperti Surya Darmadi misalnya, kerugian negara ditaksir mencapai ratusan triliun, tetapi uang pengganti yang bisa ditagihkan jauh lebih kecil. Melalui UU Perampasan Aset, negara memiliki dasar hukum yang kuat untuk menutup kesenjangan itu dan memastikan uang rakyat benar-benar kembali.
Lebih dari sekadar penindakan, UU ini juga berfungsi sebagai pencegahan. Koruptor selama ini sering memperhitungkan risiko penjara, tapi tidak terlalu khawatir karena masih bisa menyembunyikan kekayaannya. Jika UU Perampasan Aset berlaku, paradigma itu akan berubah total. Aset yang tidak bisa dibuktikan sumbernya dapat disita dan dikelola oleh negara, sehingga korupsi menjadi tindakan yang tidak lagi menguntungkan. Efek jera yang ditimbulkan bukan hanya psikologis, tetapi juga ekonomi.
Pengesahan UU ini juga penting untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Selama ini masyarakat sering melihat bahwa vonis terhadap pelaku tidak selalu berbanding lurus dengan pemulihan kerugian negara. Dengan adanya UU Perampasan Aset, pemerintah bisa menunjukkan bahwa perjuangan melawan korupsi tidak berhenti pada hukuman penjara, tetapi juga memastikan aset hasil kejahatan kembali ke tangan rakyat. Inilah bentuk keadilan yang substantif, bukan simbolik.
Tentu saja, agar UU ini benar-benar efektif, implementasinya harus hati-hati dan proporsional. Perlu ada pengawasan publik yang kuat, prosedur transparan, serta perlindungan terhadap hak-hak terdakwa agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Aparat penegak hukum juga perlu dibekali kemampuan investigasi keuangan dan pelacakan aset lintas negara yang lebih baik. Pengelolaan aset hasil perampasan pun harus dilakukan secara akuntabel dan berpihak pada kepentingan masyarakat, misalnya melalui pengembalian dana untuk pendidikan, kesehatan, atau pembangunan daerah.
Pada akhirnya, UU Perampasan Aset adalah instrumen penting untuk memastikan bahwa korupsi tidak lagi menjadi jalan cepat menuju kekayaan. Melalui regulasi ini, negara mendapatkan kekuatan baru untuk merebut kembali hak rakyat yang dirampas. Jika dilaksanakan dengan adil, transparan, dan profesional, UU ini akan menjadi tonggak penting dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia, bukti bahwa pemerintah bukan hanya berbicara soal keadilan, tapi benar-benar mengembalikannya ke pangkuan rakyat.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First