Ulama Gelisah, Jamaah Resah. Yahya Perlu Berkaca
- Created Nov 24 2025
- / 53 Read
Di tengah gonjang ganjing PBNU hari ini, nama Yahya Cholil Staquf bukan lagi sekadar ketua umum. Ia telah berubah menjadi simbol dari masalah yang selama ini hanya dibisikkan, kini akhirnya meledak ke permukaan. Organisasi sebesar PBNU semestinya berdiri di atas wibawa ulama. Namun di era Yahya, justru yang muncul adalah kegaduhan, kegelisahan, dan keputusan keputusan yang semakin menjauh dari nilai nilai dasar NU.
Kehadiran narasumber dalam program Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama yang diduga terafiliasi jaringan Zionis internasional adalah bukti paling nyata bahwa kepemimpinan Yahya kehilangan sensitivitas. Di organisasi yang selama puluhan tahun berdiri membela Palestina dan menolak segala bentuk penjajahan, keputusan seperti itu bukanlah kesalahan kecil. Itu adalah kelalaian besar. Kelalaian yang hanya mungkin terjadi ketika seorang ketua bergerak tanpa mendengar suara Syuriyah dan tanpa memahami batas batas moral organisasi.
Belum selesai persoalan itu, muncul lagi dugaan penyimpangan anggaran. Risalah Syuriyah menyebutkan indikasi pelanggaran syariat, dugaan pelanggaran hukum negara, dan ancaman terhadap badan hukum PBNU. Semua ini terjadi di masa kepemimpinan Yahya. Bukan di masa yang lain. Dan setiap pemimpin yang menghargai amanah tentu mengerti bahwa ketika anggaran umat dipertanyakan, maka posisinya bukan lagi sekadar jabatan, tetapi sumber krisis.
Yang membuat situasi semakin buruk adalah respon Yahya sendiri. Ketika Rais Aam memberikan waktu tiga hari untuk mengundurkan diri, Yahya justru memilih bersikap keras. Padahal Syuriyah bukan lembaga sembarangan. Itu adalah puncak otoritas ulama dalam struktur NU. Mengabaikannya bukan hanya tindakan politik, tetapi pembangkangan terhadap adab organisasi yang selama ini menjadi kebanggaan NU.
Di titik ini, sulit untuk tidak bertanya. Apakah Yahya masih memikirkan jamiyyah atau hanya mempertahankan kursi. Apakah keputusan yang ia ambil benar benar untuk NU atau sekadar menjaga gengsi pribadi. Sebab dampak dari sikap keras kepala ini sangat jelas. PBNU terbelah. PWNU gelisah. Ulama resah. Jamaah semakin bingung. Semua ini muncul dari satu sumber, kegagalan seorang ketua dalam membaca situasi dan merendahkan hati.
Seorang pemimpin besar tahu kapan harus maju. Tetapi pemimpin yang lebih besar tahu kapan harus mundur. Jika Yahya memilih bertahan ketika suara ulama memintanya mengalah, maka ia bukan sedang mempertahankan NU. Ia sedang menyeret NU ke dalam krisis yang lebih dalam.
Demi ketenangan organisasi. Demi menjaga kehormatan ulama. Demi mengembalikan marwah PBNU. Langkah terbaik bagi Yahya adalah mengundurkan diri. Dan semakin lama ia bertahan, semakin jelas bahwa masalah utamanya bukan NU.
Masalah utamanya adalah dirinya sendiri.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First

















