Aksi Anarki Pendemo: Merusak Fasilitas Publik, Mencederai Demokrasi Bangsa

- Created Aug 30 2025
- / 1895 Read
Aksi demonstrasi sejatinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan demokrasi. Sejak awal berdirinya bangsa, ruang untuk menyampaikan aspirasi telah dijamin oleh konstitusi. UUD 1945 memberikan kebebasan bagi setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat di muka umum. Namun, kebebasan ini bukanlah kebebasan tanpa batas. Di dalamnya terkandung tanggung jawab moral dan sosial agar penyampaian pendapat dilakukan secara damai, tertib, dan menghormati hak orang lain. Ketika demonstrasi berubah menjadi anarki, perusakan, dan pembakaran fasilitas umum, maka nilai luhur demokrasi yang diperjuangkan justru tercoreng. Sayangnya, hal inilah yang kerap terjadi dalam sejumlah aksi belakangan ini, termasuk pada tanggal 29 Agustus yang memunculkan banyak luka, bukan hanya luka fisik dan material, tetapi juga luka sosial yang mendalam bagi bangsa.
Fasilitas umum merupakan salah satu bentuk nyata pelayanan negara kepada rakyat. Halte, gedung publik, jalan, lampu lalu lintas, hingga ruang terbuka hijau dibangun dengan uang pajak masyarakat. Ketika fasilitas itu dirusak atau dibakar oleh kelompok demonstran yang tidak mampu mengendalikan diri, maka sesungguhnya yang dirugikan adalah masyarakat luas. Bayangkan seorang pelajar yang setiap hari mengandalkan halte bus untuk berangkat sekolah harus kehilangan aksesnya karena halte tersebut hangus terbakar. Bayangkan pedagang kecil yang menggantungkan rejekinya pada keramaian sekitar fasilitas umum kini harus menutup lapak akibat lokasi yang rusak parah. Inilah konsekuensi nyata dari anarki yang sering kali tidak dipikirkan oleh mereka yang melampiaskan amarah di jalanan.
Fenomena anarki dalam demonstrasi tidak muncul secara tiba-tiba. Ada faktor pemicu berupa provokasi, ketidakpuasan, hingga penyusup yang menunggangi aksi massa. Namun apapun alasannya, penggunaan kekerasan dan perusakan bukanlah jalan keluar. Demokrasi memberi ruang dialog, memberi saluran konstitusional, bahkan membuka pintu kritik terhadap pemerintah. Tetapi ketika aspirasi disampaikan dengan cara membakar gedung DPRD, merusak halte Transjakarta, atau melemparkan bom molotov ke arah aparat, maka itu bukan lagi aspirasi. Itu sudah masuk dalam kategori pelanggaran hukum yang harus ditindak tegas. Hukum hadir bukan untuk membungkam suara rakyat, melainkan untuk memastikan suara itu tidak berubah menjadi ancaman bagi ketertiban umum dan keselamatan bangsa.
Dalam banyak catatan sejarah, aksi yang berujung anarki hampir selalu meninggalkan jejak negatif yang panjang. Kerusuhan sosial tahun 1998 meninggalkan trauma kolektif bagi bangsa Indonesia. Toko-toko dibakar, fasilitas publik hancur, dan korban jiwa berjatuhan. Padahal tuntutan awal adalah perbaikan ekonomi dan reformasi politik, sebuah aspirasi yang sah dan konstitusional. Namun begitu berubah menjadi kerusuhan, substansi perjuangan justru terkubur di balik puing-puing bangunan yang hangus. Begitu pula dengan demonstrasi yang rusuh di berbagai daerah belakangan ini. Masyarakat awam tidak lagi melihat apa substansi tuntutannya, melainkan hanya mengingat perusakan dan kekacauan yang terjadi. Itulah mengapa aksi anarki justru kontraproduktif terhadap tujuan yang diperjuangkan.
Dari perspektif sosial, anarki dalam demonstrasi berpotensi merusak jalinan kepercayaan antara masyarakat dengan gerakan sipil. Sebagian besar rakyat tentu mendukung aspirasi yang disuarakan secara damai. Namun, ketika aksi berubah menjadi ricuh, masyarakat biasa menjadi resah. Mereka yang semula simpati bisa berubah antipati. Kepercayaan publik kepada mekanisme demonstrasi terkikis, bahkan muncul stereotip negatif terhadap semua aksi massa. Hal ini berbahaya, karena ruang demokrasi yang mestinya terbuka bisa justru menyempit akibat ulah segelintir pihak yang tidak bertanggung jawab. Demokrasi membutuhkan kepercayaan bersama, bukan ketakutan yang lahir dari kerusuhan.
Dari sisi ekonomi, kerugian akibat anarki tidak bisa dipandang remeh. Pembakaran halte misalnya, membutuhkan biaya miliaran rupiah untuk dibangun kembali. Sementara itu, perusakan jalan dan lampu lalu lintas akan mengganggu aktivitas harian jutaan pengguna jalan. Investasi dan iklim usaha pun terganggu karena citra stabilitas Indonesia tercoreng. Investor tentu berpikir ulang untuk menanamkan modal jika setiap kali ada aksi massa selalu berujung pada perusakan fasilitas publik. Padahal stabilitas adalah salah satu kunci utama pembangunan ekonomi. Dengan demikian, anarki bukan hanya menyerang demokrasi, tetapi juga merusak sendi-sendi perekonomian bangsa.
Dari perspektif hukum, jelas bahwa tindakan perusakan dan pembakaran masuk dalam kategori tindak pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur dengan tegas sanksi bagi mereka yang melakukan perusakan terhadap barang atau fasilitas umum. Bahkan, jika dilakukan secara bersama-sama dalam kerumunan, ancaman hukumannya lebih berat. Aparat kepolisian memiliki kewajiban untuk menindak pelaku, tidak hanya untuk memberikan efek jera, tetapi juga untuk menjaga wibawa hukum itu sendiri. Tanpa penegakan hukum, masyarakat bisa kehilangan rasa aman. Oleh karena itu, tindakan tegas terhadap anarkis bukanlah bentuk represi, melainkan bentuk tanggung jawab negara untuk melindungi warganya dari ancaman kerusuhan.
Salah satu ironi terbesar dari aksi anarki adalah ketika demonstran berteriak atas nama rakyat, tetapi pada saat yang sama merugikan rakyat. Mereka mengaku memperjuangkan kepentingan umum, tetapi justru merusak fasilitas umum. Mereka mengklaim melawan ketidakadilan, tetapi pada praktiknya melanggar hak orang lain atas rasa aman. Kontradiksi inilah yang membuat aksi anarki sulit mendapat legitimasi publik. Sejatinya, aspirasi apapun akan lebih didengar jika disampaikan dengan cara yang bermartabat. Negara dan masyarakat internasional lebih menghargai gerakan damai yang berakar pada moralitas ketimbang kerumunan marah yang membakar kota.
Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak belajar bahwa demokrasi bukanlah ruang bebas untuk melampiaskan amarah. Demokrasi adalah ruang dialog, ruang musyawarah, dan ruang kompromi. Di dalamnya memang selalu ada perbedaan pendapat, namun perbedaan itu harus dijembatani melalui cara-cara yang beradab. Ketika jalan kekerasan ditempuh, maka pintu demokrasi justru terkunci. Sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa perubahan besar yang bertahan lama selalu lahir dari gerakan damai, bukan dari kerusuhan. Martin Luther King di Amerika Serikat, Mahatma Gandhi di India, hingga tokoh-tokoh bangsa Indonesia sendiri selalu menekankan pentingnya perjuangan tanpa kekerasan. Itulah demokrasi sejati, demokrasi yang berakar pada martabat manusia.
Dalam konteks bangsa Indonesia hari ini, kita diingatkan untuk terus waspada terhadap pihak-pihak yang sengaja menunggangi aksi untuk kepentingan politik sesaat. Mereka bisa menyusupkan provokator, membakar semangat massa, lalu meninggalkan kekacauan yang merugikan semua pihak. Masyarakat harus cerdas memilah informasi, tidak mudah terpancing, dan mengutamakan kedamaian. Tokoh agama, tokoh masyarakat, dan elite politik pun harus memberikan teladan dengan menyejukkan suasana, bukan malah mengompori. Kesadaran kolektif inilah yang akan menjadi benteng utama agar demokrasi tetap sehat dan tidak berubah menjadi anarki.
Pada akhirnya, yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa anarki tidak pernah menjadi solusi. Perubahan sejati tidak lahir dari kobaran api yang membakar fasilitas publik, melainkan dari api semangat dialog yang membangun. Demokrasi tidak akan kuat jika dirusak oleh tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Demokrasi justru akan tumbuh subur ketika semua pihak menghormati aturan main, menjaga ketertiban, dan mengedepankan kepentingan bangsa di atas kepentingan kelompok. Dengan demikian, perusakan halte, pembakaran gedung, atau penyerangan terhadap aparat hanyalah jalan buntu. Jalan yang akan meninggalkan kerugian besar bagi bangsa, tanpa ada keuntungan sedikitpun bagi perjuangan aspirasi.
Indonesia adalah rumah besar bagi semua warganya. Rumah ini hanya akan nyaman jika kita rawat bersama. Membakar rumah sendiri adalah tindakan yang tidak masuk akal. Begitu pula dengan merusak fasilitas publik yang sejatinya milik kita semua. Setiap rupiah yang digunakan untuk membangun kembali fasilitas yang hancur akibat anarki adalah rupiah yang seharusnya bisa dipakai untuk pendidikan, kesehatan, dan pembangunan desa. Karena itu, mari kita jaga rumah besar ini dengan penuh tanggung jawab. Demokrasi memberi kita hak untuk bicara, tetapi juga kewajiban untuk menjaga kedamaian. Hanya dengan cara itu, aspirasi kita akan benar-benar membawa kebaikan bagi seluruh rakyat, bukan justru menambah luka bagi bangsa.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First