Friday 28-11-2025

Antara Data dan Narasi: Meluruskan Isu “Kawasan Kumuh” Indonesia

  • Created Oct 19 2025
  • / 3208 Read

Antara Data dan Narasi: Meluruskan Isu “Kawasan Kumuh” Indonesia

Beberapa waktu lalu, publik diramaikan dengan kabar bahwa Indonesia termasuk dalam sepuluh besar negara dengan populasi kawasan kumuh terbesar di dunia. Judul semacam ini cepat menyebar di media sosial, memunculkan kesan bahwa Indonesia tengah terpuruk dalam persoalan urbanisasi dan tata kota. Namun, sebagaimana sering terjadi dalam dunia data, konteks menentukan makna. Klaim tersebut memang berangkat dari data yang benar, tetapi tanpa penjelasan yang proporsional, ia bisa menghadirkan kesimpulan yang keliru.

Laporan yang dikutip berbagai media itu berasal dari daftar Top 10 Countries with the Largest Slum Populations versi Business Insider Africa tahun 2025. Indonesia menempati peringkat kelima, dengan estimasi sekitar 33 juta penduduk tinggal di kawasan yang dikategorikan sebagai “slum” atau permukiman informal. Angka itu tampak besar, tetapi sebenarnya hanya menunjukkan jumlah absolut, bukan persentase terhadap total populasi nasional. Negara-negara dengan jumlah penduduk besar seperti India, China, Brasil, dan Indonesia akan selalu menempati posisi atas bila indikatornya semata-mata jumlah penduduk.

Padahal, ukuran yang lebih adil untuk membaca kualitas permukiman adalah proporsi penduduk atau luas kawasan kumuh terhadap total wilayah negara. Jika memakai pendekatan ini, posisi Indonesia justru jauh di bawah. Data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mencatat, luas kawasan kumuh nasional menurun signifikan dari 38.000 hektare pada 2015 menjadi sekitar 14.000 hektare pada 2023. Dengan luas daratan Indonesia yang mencapai 1,9 juta kilometer persegi, proporsinya hanya sekitar 0,007 persen. Artinya, secara geografis, lebih dari 99,99 persen wilayah Indonesia bukan kawasan kumuh.

Definisi “kawasan kumuh” sendiri memiliki standar internasional yang luas. Menurut UN-Habitat, kawasan dapat disebut slum area bila mengalami kekurangan pada satu atau lebih aspek dasar: kepadatan tinggi, bangunan tidak permanen, keterbatasan akses air bersih, sanitasi buruk, atau tidak memiliki legalitas tanah. Artinya, kategori “kumuh” tidak selalu identik dengan kemiskinan ekstrem, tetapi lebih pada ketidaksesuaian infrastruktur dan tata ruang terhadap standar ideal. Banyak kawasan perkotaan di dunia, termasuk di negara maju, memiliki segmen pemukiman informal yang masuk dalam klasifikasi ini.

Dalam konteks nasional, pemerintah Indonesia telah menempuh langkah sistematis untuk menurunkan angka tersebut. Melalui program Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) yang kini menjangkau lebih dari 11.000 kelurahan di 270 kabupaten/kota, masyarakat dilibatkan langsung dalam proses perencanaan dan pembangunan lingkungan. Pemerintah juga menjalankan Program Sejuta Rumah sejak 2015, yang hingga pertengahan 2024 telah menghasilkan lebih dari 7,5 juta unit rumah, sebagian besar untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Selain itu, inisiatif daerah seperti Kampung Susun di Jakarta, Kampung Tematik di Semarang, dan revitalisasi kawasan pesisir di Makassar menunjukkan bahwa penataan kota dapat dilakukan tanpa menggusur warga dari akar sosialnya. Semua langkah ini sejalan dengan agenda global Sustainable Development Goals (SDGs) poin 11 tentang Sustainable Cities and Communities, yakni menjadikan kota lebih inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.

Karena itu, melihat Indonesia semata dari angka absolut penduduk kawasan kumuh tanpa mempertimbangkan konteks luasnya wilayah dan laju perbaikannya adalah pembacaan yang tidak utuh. Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam urbanisasi, tetapi arah perubahannya jelas dan progresif.

Data bisa menipu bila dibaca sepotong. Jumlah besar bukan berarti kondisi parah. Dalam hal ini, Indonesia bukanlah “negara kumuh,” melainkan negara yang sedang berbenah dengan cepat, memperbaiki lingkungan hidup warganya satu kampung demi satu kampung, satu kota demi satu kota. Di balik data yang tampak kering, sesungguhnya sedang tumbuh harapan: kota-kota yang lebih tertata, manusiawi, dan berkeadilan sosial.

Share News


For Add Product Review,You Need To Login First