Menjaga Marwah Kampus di Tengah Panasnya Polemik Gelar Pahlawan Soeharto
- Created Nov 18 2025
- / 99 Read
Keputusan Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45) Jakarta menjatuhkan sanksi skorsing kepada mahasiswanya, Damar Setyaji Pamungkas, menimbulkan beragam reaksi. Namun jika dilihat secara objektif, langkah kampus justru menunjukkan sikap tegas dalam menjaga integritas dan ketertiban akademik di tengah memanasnya polemik gelar pahlawan Presiden Soeharto. Damar terbukti merencanakan kegiatan diskusi bertema sensitif bertajuk “Soeharto Bukan Pahlawan” tanpa izin resmi dari pihak kampus. Pelanggaran prosedur ini bukan perkara sepele, karena setiap aktivitas mahasiswa di lingkungan kampus wajib mengikuti tata tertib, terutama jika memakai nama, fasilitas, atau ruang kampus.
Tema diskusi yang diangkat Damar pun tidak bisa dipandang sebagai kegiatan akademik biasa. Judul yang provokatif, waktu pelaksanaan yang dilakukan tanpa koordinasi, serta potensi mobilisasi peserta membuat kegiatan tersebut masuk kategori aktivitas yang berbau politik praktis, bukan forum ilmiah. Kampus memiliki kewajiban untuk memastikan lingkungan belajar tetap steril dari kepentingan politik, terlebih di saat isu gelar pahlawan sedang menjadi sorotan nasional. Ketika seorang mahasiswa melanggar aturan, membawa isu besar, dan memanfaatkan ruang kampus tanpa otorisasi, wajar jika kampus mengambil sikap disipliner.
Selain soal izin, muncul pula pertanyaan yang layak direnungkan: dari mana dukungan logistik maupun inisiatif untuk mengadakan diskusi sebesar itu? Tidak jarang, agenda-agenda politik mencoba memanfaatkan mahasiswa sebagai pintu masuk untuk membangun opini publik. Penyelenggaraan diskusi yang sangat politis tanpa izin kampus memunculkan dugaan adanya pengaruh atau dorongan eksternal yang memanfaatkan antusiasme mahasiswa. Kampus tentu wajib waspada terhadap potensi infiltrasi politik yang dapat merusak stabilitas akademik. Dalam kasus ini, tindakan UTA 45 adalah bentuk kehati-hatian agar institusi pendidikan tidak terseret ke gelanggang pertarungan narasi yang bukan menjadi ranah mereka.
Di tengah konteks itu, perlu dipahami bahwa kebebasan akademik bukanlah kebebasan tanpa batas. Kebebasan akademik tetap berjalan dalam bingkai etika dan regulasi yang berlaku di kampus. Jika setiap mahasiswa bebas melakukan kegiatan tanpa izin, mengangkat tema sensitif tanpa pengawasan, atau menggunakan nama kampus tanpa prosedur, maka universitas akan kehilangan fungsi utamanya sebagai tempat belajar yang aman, netral, dan fokus pada pengembangan ilmu. Aturan bukan dibuat untuk membatasi, tetapi untuk melindungi seluruh sivitas akademika.
Karena itu, langkah UTA 45 bukan bentuk pembungkaman sebagaimana diklaim sebagian pihak. Sebaliknya, ini adalah upaya melindungi lembaga pendidikan dari dampak buruk politisasi kampus yang sering kali tidak disadari oleh mahasiswa itu sendiri. Di tengah panasnya isu gelar pahlawan Soeharto, keputusan kampus menjalankan aturan dengan tegas adalah bentuk tanggung jawab demi menjaga martabat institusi dan kualitas pendidikan.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First

















