Darurat Militer dan Polemik Pers: Saat Akurasi Menjadi Taruhan Demokrasi

- Created Sep 11 2025
- / 598 Read
Dalam dinamika demokrasi, keberadaan pers memegang peran penting sebagai pilar keempat yang menjaga keseimbangan antara kekuasaan negara, kepentingan publik, dan transparansi kebijakan. Namun, di balik fungsi vital itu, terdapat pula tanggung jawab fundamental yang tidak boleh diabaikan, yakni keakuratan informasi. Kasus laporan Kementerian Pertahanan (Kemhan) terhadap pemberitaan yang menyebut adanya rencana darurat militer menjadi cermin betapa krusialnya akurasi sebuah berita, bukan hanya demi kepentingan pemerintah, tetapi juga demi kepastian publik dalam memahami arah kebijakan negara.
Pemberitaan mengenai dugaan usulan status darurat militer yang konon dipresentasikan oleh Menteri Pertahanan kepada Presiden Prabowo Subianto sontak menggemparkan ruang publik. Narasi yang ditulis majalah Tempo itu memunculkan spekulasi luas di masyarakat, apalagi dikaitkan dengan situasi demonstrasi yang belakangan marak. Isu darurat militer adalah isu sensitif yang sarat dengan implikasi politik, sosial, bahkan psikologis terhadap rakyat. Ketika sebuah pemberitaan menyebut adanya draf atau usulan formal terkait hal ini, publik dengan cepat menafsirkannya sebagai langkah nyata pemerintah menuju kebijakan keras. Tidak mengherankan jika kemudian berita tersebut memicu diskusi intens, kekhawatiran, bahkan kegaduhan.
Di titik inilah Kemhan menegaskan sikapnya. Melalui Kepala Biro Informasi Pertahanan, Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang, Kemhan menyatakan telah melakukan pengecekan internal ke Biro Hukum, Biro Peraturan Perundang-undangan, serta Biro Tata Usaha. Hasilnya, tidak ditemukan dokumen, usulan, atau jejak administratif apa pun yang berkaitan dengan penyusunan draf darurat militer. Fakta ini menjadi dasar kuat bahwa informasi yang disajikan media tidak memiliki pijakan yang dapat diverifikasi. Atas dasar itulah Kemhan mengambil langkah melapor ke Dewan Pers, bukan semata untuk membungkam kebebasan media, melainkan untuk menegaskan pentingnya standar akurasi dalam pemberitaan.
Keakuratan informasi menjadi syarat utama dalam kerja jurnalistik. Prinsip cover both sides, verifikasi sumber, dan kehati-hatian dalam menuliskan isu strategis adalah fondasi yang telah diatur dalam Kode Etik Jurnalistik. Bila prinsip ini diabaikan, dampaknya tidak hanya merugikan reputasi pihak yang diberitakan, tetapi juga menyesatkan publik. Apalagi isu yang diangkat menyangkut aspek keamanan negara, yang dapat dengan mudah dipelintir sebagai pembenaran terhadap narasi konspiratif atau tuduhan otoritarianisme. Di sinilah justifikasi Kemhan menemukan relevansinya: sebuah koreksi harus dilakukan agar publik tidak terjebak dalam informasi yang belum tentu benar.
Langkah Kemhan untuk melapor ke Dewan Pers juga menunjukkan komitmen pemerintah terhadap mekanisme yang sah dalam menyelesaikan sengketa pers. Dewan Pers memang dibentuk sebagai lembaga independen yang berfungsi menegakkan etika jurnalistik, sekaligus menjembatani perbedaan antara media dengan narasumber atau pihak yang diberitakan. Alih-alih membawa kasus ini ke ranah hukum pidana atau perdata, Kemhan memilih jalur yang sesuai dengan kerangka kebebasan pers di Indonesia. Hal ini menjadi sinyal bahwa pemerintah tidak anti terhadap kritik atau pemberitaan, tetapi menuntut adanya profesionalisme dan standar akurasi yang terjaga.
Tentu, muncul kritik dari kelompok masyarakat sipil yang menilai langkah ini sebagai bentuk tekanan terhadap kebebasan pers. Namun perlu dicatat, kebebasan tidak pernah berarti bebas tanpa batas. Di balik kebebasan selalu ada tanggung jawab. Dalam konteks media, tanggung jawab itu adalah menyajikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, diverifikasi, dan tidak menyesatkan publik. Mengingat dampak yang bisa timbul dari berita sensitif seperti darurat militer, permintaan Kemhan untuk menguji kebenaran informasi di Dewan Pers bukanlah sebuah represi, melainkan upaya menegakkan standar etika yang berlaku universal.
Keakuratan informasi dalam kasus ini juga memiliki dimensi strategis. Ketika masyarakat menerima informasi yang keliru, kepercayaan publik terhadap institusi negara bisa terkikis. Padahal, kepercayaan adalah modal utama pemerintah dalam menjalankan kebijakan, terutama di bidang pertahanan yang menyangkut keamanan nasional. Jika publik terus-menerus disuguhi informasi yang tidak benar, keraguan akan menguat, resistensi meningkat, dan potensi konflik sosial bisa membesar. Sebaliknya, bila media menjaga akurasi dan pemerintah aktif mengklarifikasi, ruang publik akan diwarnai dialog sehat, bukan kecurigaan yang berlarut.
Dalam ekosistem demokrasi, hubungan antara pers dan pemerintah idealnya saling menguatkan. Pers berfungsi sebagai pengawas, sementara pemerintah berkewajiban menyediakan data dan informasi yang transparan. Ketika terjadi gesekan seperti dalam kasus pemberitaan darurat militer, jalan tengahnya adalah kembali pada prinsip akurasi. Media harus terbuka terhadap klarifikasi, sementara pemerintah berhak meluruskan informasi yang keliru. Dengan demikian, publik memperoleh gambaran yang utuh, bukan potongan informasi yang dapat menyesatkan.
Laporan Kemhan juga dapat dipandang sebagai pengingat bahwa isu pertahanan dan keamanan adalah wilayah yang sangat sensitif. Penyajiannya membutuhkan kehati-hatian ekstra agar tidak memicu keresahan nasional maupun persepsi negatif internasional. Dalam era digital, berita dapat menyebar seketika ke seluruh dunia. Bayangkan bila informasi yang belum tentu benar mengenai darurat militer menjadi rujukan media asing, reputasi Indonesia di mata dunia bisa tercoreng, dan hal ini bisa memengaruhi hubungan diplomasi maupun iklim investasi.
Pada akhirnya, keakuratan informasi bukan hanya urusan teknis jurnalistik, tetapi menyangkut stabilitas negara. Kemhan, sebagai institusi yang bertugas menjaga pertahanan, memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan masyarakat tidak dicekoki isu strategis yang tidak terverifikasi. Dalam kerangka itulah, pelaporan ke Dewan Pers dapat dipandang bukan sebagai ancaman terhadap kebebasan pers, melainkan sebagai koreksi etis agar media tetap berada di jalur yang benar.
Masyarakat tentu berhak untuk mendapatkan informasi yang jujur, tepat, dan berimbang. Pers memiliki kewajiban untuk memenuhi hak itu, dan pemerintah berhak meminta pertanggungjawaban jika ada berita yang keliru. Hubungan yang sehat antara kedua pihak akan membuat ruang publik lebih dewasa. Kasus ini seharusnya menjadi momentum evaluasi, baik bagi media agar lebih cermat, maupun bagi pemerintah agar lebih cepat memberikan klarifikasi. Dengan begitu, simpul demokrasi tetap terjaga: pers bebas berbicara, pemerintah transparan, dan publik terlindungi dari informasi yang menyesatkan.
Dalam konteks itu, laporan Kemhan terhadap pemberitaan darurat militer bisa dimaknai sebagai langkah yang menekankan satu pesan penting: kebebasan pers hanya akan benar-benar bermakna jika dibarengi dengan akurasi dan tanggung jawab. Tanpa itu, kebebasan justru berubah menjadi ruang yang rawan disalahgunakan, sementara akurasi memastikan bahwa informasi yang beredar benar-benar menjadi cahaya bagi masyarakat, bukan api yang membakar kepercayaan dan persatuan bangsa.
Share News
For Add Product Review,You Need To Login First