Wednesday 17-09-2025

Belajar dari Nepal, Kekerasan Bukan Jalan Perubahan di Indonesia

  • Created Sep 12 2025
  • / 70 Read

Belajar dari Nepal, Kekerasan Bukan Jalan Perubahan di Indonesia

Kerusuhan besar yang terjadi di Nepal beberapa waktu lalu menimbulkan keprihatinan global. Massa marah melucuti pejabat, menelanjanginya, bahkan melemparkannya ke sungai. Namun, praktik buas semacam itu jelas tidak bisa disamakan dengan Indonesia, apalagi dijadikan contoh. Indonesia memang baru saja mengalami gelombang protes besar, tetapi ekspresinya masih berada dalam koridor demokrasi tanpa aksi penghinaan ekstrem terhadap pejabat negara.

Mengapa kerusuhan di Nepal bisa begitu brutal? Ada setidaknya tiga alasan utama yang menjelaskan perbedaan itu. Pertama, faktor kekosongan otoritas. Perdana Menteri KP Sharma Oli melarikan diri hanya beberapa jam sebelum puncak protes, diikuti Menteri Dalam Negeri yang juga kabur. Negara seperti kehilangan kepala rumah tangga, dan massa merasa sah untuk menjadi penguasa jalanan.

Kedua, Nepal menyimpan trauma panjang konflik sipil. Perang Maois dan sejarah benturan internal telah membentuk budaya politik yang keras. Kekerasan menjadi bahasa politik yang dianggap biasa. Dalam kerangka itu, menelanjangi pejabat bukanlah hal tabu, melainkan simbol perlawanan yang dianggap sah.

Ketiga, kerusuhan Nepal lahir dari kegagalan institusi. Korupsi, dinasti politik, serta reformasi yang macet telah melucuti kepercayaan rakyat terhadap parlemen dan hukum. Ketika saluran formal tertutup, rakyat memilih jalur paling kasar sebagai bentuk ekspresi politik.

Indonesia, meski menghadapi tantangan serius, masih memiliki sisa kepercayaan terhadap lembaga demokrasi. Presiden, KPK, Mahkamah Konstitusi, pers bebas, hingga organisasi masyarakat sipil masih relatif hidup. Saluran ini menjadi katup pengaman yang membuat protes tidak berubah menjadi amuk liar.

Dengan kata lain, kebuasan di Nepal adalah produk kombinasi vakumnya pemimpin, warisan budaya kekerasan, dan keruntuhan institusi. Indonesia memiliki modal sosial-politik yang berbeda. Presiden Prabowo dan DPR berusaha hadir di tengah rakyat, menunjukkan respons nyata terhadap keresahan publik.

Langkah-langkah konkret sudah ditunjukkan. DPR menghentikan tunjangan perumahan bagi anggotanya mulai 31 Agustus 2025 serta memberlakukan moratorium kunjungan kerja luar negeri per 1 September 2025. Upaya ini menegaskan sensitivitas terhadap kritik rakyat mengenai gaya hidup mewah pejabat.

Tak berhenti di situ, DPR juga membuka kembali pembahasan RUU Perampasan Aset yang lama mandek. RUU ini menjadi simbol keseriusan dalam memperkuat pemberantasan korupsi, sekaligus jawaban atas desakan publik untuk mengikis budaya impunitas.

Presiden Prabowo turut merespons dengan mengganti sebagian menteri di kabinetnya, menunjukkan keseriusan dalam melakukan koreksi. Pergantian ini adalah pesan tegas bahwa pemerintah siap merombak struktur, bila itu yang dibutuhkan demi mengembalikan kepercayaan rakyat.

Kerusuhan di Nepal seharusnya menjadi cermin, bukan contoh yang diikuti. Indonesia memiliki jalan berbeda, menyuarakan kritik dengan cara demokratis, menjaga martabat bangsa, dan mengawal perubahan melalui jalur konstitusional. Masyarakat perlu ingat, meniru kebuasan Nepal hanya akan merusak sendi-sendi persatuan dan membuat bangsa ini mundur.

Share News


For Add Product Review,You Need To Login First